Prof. Saafroedin Bahar: "Jokowi Makin Represif, Kurang Akrab Dengan Muslim Indonesia"





Prof. Saafroedin Bahar: "Jokowi Makin Represif, Kurang Akrab Dengan Muslim Indonesia"


Berita Islam 24H - Wawancara atau percakapan dengan intelektual senior Prof. Saafroedin Bahar.


Prof. Saafroedin Bahar dikenal sebagai salah seorang warga negara senior yang cukup aktif menggunakan sosial media. Tidak heran bila postingannya rata-rata soal kepeduliannya terhadap negara dan bangsa Indonesia. Apalagi Pak Saaf pernah menjabat sebagai salah seorang pejabat eselon satu di Sekretariat Negara (Setneg) yang saat itu dipimpin, Alm. Moerdiono.


Berikut kutipan percakapan atau wawancara dengan Prof. Saafroedin Bahar (SB) yang dilakukan Derek Manangka (DM) yang diposting di situs online Slaras.id.


1. Jokowi 2016 Beda Dengan 2014


DM: Saya tandai, bapak sering memposting seperti perasaan gundah atas situasi negara kita saat ini. Sebagai bekas pejabat tinggi di Setneg di era Pak Harto, apa sebetulnya yang membuat Pak Saaf merasa seperti itu? Maaf kalau saya keliru menafsirkannya.


SB: Bung Derek, saya memandang kehidupan berbangsa dan bernegara dari perspektif normatif, yaitu dari Dasar dan Ideologi Negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 beserta Penjelasan Umumnya. Kebetulan saya menjadi Penyunting Penyelia dari Risalah BPUPKI-PPKI tahun 1945 yang beberapa kali diterbitkan oleh Sekretariat Negara. Dalam penglihatan saya, sejak era Reformasi norma-norma ini bukan hanya diabaikan, tetapi juga dilanggar, baik sengaja maupun tidak.


DM: Tapi kembali ke pertanyaan awal, mengapa kegundahan itu baru terjadi di era Jokowi…? Sementara Pak Saaf katakan pelanggaran itu sejak era Reformasi (1998).


SB: Saya gundah sejak awal era Reformasi, dan sudah kritis sejak era SBY. Saya baru aktif fesbukan sejak tahun 2005. Dalam era Jokowi saya melihat deviasi ini sudah hampir tidak terkendali lagi.


DM: Bisakah diberikan contoh yang menyadarkan kita bahwa pemerintahan Jokowi sudah hampir tidak bisa melakukan kendali?


SB: Contoh deviasi yg hampir tidak terkendali: pembiaran aktivis simpatisan PKI pada saat TAP-XXV/MPRS/1966 masih berlaku; ketergantungan yang sangat menyolok pada sebuah negara asing, bertentangan dengan konsep kedaulatan yg terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.


DM: Apakah faktor SDM yang mungkin masuk KW Satu ini yang menjadi penyebab, kinerja Presiden Jokowi tidak seperti yang diharapkan oleh banyak orang. Pendapat Pak Saaf?


SB: Rasanya ada berbagai faktor yang mempengaruhi, antara lain kehilangan wawasan ideologis, lemahnya kepemimpinan, dan belum adanya organisasi dan prosedur yg mumpuni.


DM: Pak Saaf memiliki sejumlah status yang luar biasa. Intelektual dengan sudah menulis sejumlah buku soal Kenegaraan, Profesor, birokrat senior dan Purnawirawan Jenderal. Bagaimana Pak Saaf melihat Indonesia dalam sisa waktu kurang dari 3 tahun ke depan, di bawah Presiden Jokowi? SB: Saya sangat risau bung Derek. Saya membaca berbagai tulisan pers dalam dan luar negeri tentang kebijakan Jokowi ini, yang sebagian besar terkesan kecewa. Sungguh menarik bahwa beberapa tokoh yg dahulu mendukung Jokowi kemudian mengkritiknya, seperti Romo Franz von Magnis Suseno, Romo Benny, atau Dyah Rieke Pitaloka. Di dalam masyarakat juga berkembang kekecewaan ini. Keengganan Jokowi untuk menerima delegasi pendemo (Aksi Bela Islam 411 -red) sangat mengherankan saya. Kok tega sekali. Jokowi 2016 sekarang bukan lagi Jokowi 2014. Sudah sangat berbeda.


2. Jokowi Makin Represif


DM: Bagaimana Pak Saaf menilai soal kepemimpinan, statesmanship khususnya, pemerintahan kita saat ini. Tentu saja terpaksa harus membuat semacam perbandingan dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. bagaimana?


SB: Bung Derek, sejak tahun 1996 saya terbiasa menekuni masalah kepemimpinan ini dari perspektif teori elite, seperti yang diulas oleh Gaetano Mosca, Vilfredo Pareto, C. Wright Mills, cs. Dalam teori elite ini, selain diperhatikan struktur internal elite, juga hubungan elite dengan massa. Dalam konteks Indonesia, sudah barang tentu presiden berada pada puncak struktur. Dalam disertasi saya di UGM saya membahas peran dua presiden, yaitu Soekarno dan Soeharto.

DM: Lalu, apakah bisa dikupas sedikit materi, isi atau kesimpulannya? Maksud saya perbandingan Soekarno – Soeharto dulu. Setelah itu dengan presiden lainnya hingga dengan Jokowi, boleh?


SB: Tentu. Esensinya: kepribadian – atau watak – presiden serta jejaring yang dibuatnya dengan sesama elite serta dengan massa mempunyai peran yang sangat menentukan dalam kinerja kepemimpinannya. Pada dasarnya kepribadian atau watak tidak dapat diubah.


Sehubungan dengan itu, saya berkesimpulan bahwa yang perlu diperhatikan secara khusus dalam memilih pemimpin adalah kepribadian atau watak mereka. Dalam hal ini peran psikolog dan psikiater sangat penting.


DM: Waduh, kalau begini jawaban atau ulasannya, saya punya penafsiran – yang mungkin terburu-buru bahwa presiden kita saat ini tidak memenuhi kriteria statesmanship yang kita bahas. Benarkah penfasiran saya ini?


SB: No comment.


DM: Yah yah yah. Tapi maaf Pak Saaf, dari jawaban-jawaban pagi ini, kesan saya Pak Saaf tiba-tiba menjadi sangat hati-hati. Tidak lagi seperti kalau Bapak memposting opini, di timeline di facebook. Apa penyebabnya?


SB: Memang. Saya sedang menekuni kepribadian dan gaya khas kepemimpinan Presiden Jokowi serta jajarannya, yang terkesan semakin represif. You know what I mean.


SB: Ya, saya kecewa dengan Prabowo, yang berdiam diri demikian lama setelah kalah. Menurut pandangan saya, seyogyanya Prabowo mengkonsolidasikan kekuatan pendukungnya yang berjumlah 48℅ dari pemilih, antara lain untuk mengawasi jalannya pemerintahan Jokowi dari DPR RI. Kesempatan tersebut tidak dimanfaatkan Prabowo.


3. Jokowi Kurang Akrab Dengan Muslim Indonesia


DM: Sebelum masuk ke topik pertanyaan yang saya janjikan, bisakah kita singgung dulu soal lain. Yaitu kunjungan Presiden Jokowi baru-baru ini ke India dan Iran. Bagaimana?


SB: Rasanya tidak begitu banyak penjelasan resmi tentang tujuan yang ingin dicapai dengan dua kunjungan ini. Kunjungan ke Iran – pada saat negara itu terlibat dengan pembantaian penduduk sipil di Aleppo – terasa kurang tepat momennya. Secara pribadi saya merasa Presiden harus lebih banyak berkonsentrasi pada masalah dalam negeri.


DM: Okey, tapi apakah kunjungan ke Iran, sebuah negara Islam kali ini bukan justru menunjukkan bahwa Presiden ingin mendekatkan Indonesia ke Dunia Islam?


SB: Islam versi Iran sangat berbeda dengan versi Islam yang dianut oleh mayoritas kaum muslimin di Indonesia. MUI pernah menerbitkan sebuah booklet tentang perbedaannya. Lagi pula, secara pribadi kelihatannya Presiden kurang akrab dengan kaum muslimin Indonesia sendiri. Saya sedikit surprised sewaktu Presiden hadir di acara shalat bersama tanggal 2 Desember di Monas, dalam suasana hujan, padahal pagi itu sama sekali tidak ada agenda untuk itu. Secara khusus saya memperhatikan dua saran yang berbeda dari dua menko. Syukur akhirnya Presiden memutuskan untuk hadir, yang memberikan cukup makna dalam jangka pendek.


DM: Masih tentang kunjungan ke Iran dan India. Saya melihat Presiden Jokowi ingin menunjukkan bahwa pendulum politiknya tidak lagi berada atau posisi yang dekat dengan Amerika. Dengan India misalnya untuk menunjukkan semangat Non-Blok, sebuah gerakan yang tidak disukai Barat. Jadi ada dua pesan perjalanan Jokowi kali ini. Mengembalikan ke-NON Blokan Indonesia, ditambah lagi Iran merupakan musuh Amerika, komentar Pak Saaf?


SB: Saya merasa sebaiknya Presiden lebih banyak berkonsentrasi untuk meningkatkan ketahanan nasional kita di dalam negeri, dan perlu memberi makna yang lebih besar pada ASEAN, yang selain lebih dekat, juga lebih penting. Politik luar negeri harus merupakan refleksi dari politik dalam negeri. Saya bisa menerimpentingnya kunjungan Presiden ke India, yang selain menunjukkan kinerja ekonomi yang tidak kalah dengan China, juga secara kultural lebih dekat dan kelihatannya tidak mempunyai ambisi teritorial.


Sehubungan dengan itu, saya merasa kedekatan Presiden dengan China perlu ditinjau kembali – oleh karena negara itu menganut asas ius sanguinis dalam kewarganegaraan, yang bagi kota mengandung risiko besar – juga mempunyai rekam jejak khas yang harus diperhatikan secara khusus di Tibet, Angola, Myanmar, dan Timor Leste. Juga jangan lupakan insiden antara kapal nelayan China – yang dikawal oleh kapal Coast Guard China – dengan kapal patroli kita di Laut China Selatan beberapa waktu yang lalu. Saya masih berpikir-pikir tentang peran gerakan non blok dewasa ini. Hubungan antar negara dewasa ini kelihatannya sangat cair, dimana kepentingan nasional lebih mengemuka. Perhatikan kasus Brexit dan menangnya Donald Trump.


DM: Hmmm. Dengan paparan Pak Saaf ini, saya punya kesan bahwa Presiden nampaknya tidak punya Penasihat Khusus bidang Luar Negeri atau masukan dari Kemlu, kurang tepat. ASEAN saja sepertinya sudah tidak kita urus. Ada tanggapan Pak Saaf?


SB: Saya juga punya kesan yang sama. [beritaislam24h.net / ppc]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Prof. Saafroedin Bahar: "Jokowi Makin Represif, Kurang Akrab Dengan Muslim Indonesia""

Post a Comment